Kisah Perjalanan Dua Cahaya Putri Rasulullah: Ruqayyah dan Ummu Kultsum radhiyallâhu ‘anhumâ
Posted by
Unknown
| Wednesday, August 15, 2012 at 4:58 AM
0
comments
Labels :
Cerita Islami
Tumbuh beriringan bak dua kuntum bunga, berhias
keindahan. Lepas dari belenggu ikatan, bertabur kemuliaan. Berlabuh di
sisi kekasih nan dermawan, sang pemilik dua cahaya.
Lahir dua orang putri dari rahim ibunya, Khadijah bintu Khuwailid bin Asad bin ‘Abdil ‘Uzza radhiallahu ‘anha. Menyandang nama Ruqayyah dan Ummu Kultsum radhiallahu ‘anhuma, di bawah ketenangan naungan seorang ayah yang mulia, Muhammad bin ‘Abdillah bin ‘Abdil Muththalib Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebelum datang masa sang ayah diangkat sebagai nabi
Allah, Ruqayyah disunting oleh seorang pemuda bernama ‘Utbah, putra Abu
Lahab bin ‘Abdul Muththalib, sementara Ummu Kultsum menikah dengan
saudara ‘Utbah, ‘Utaibah bin Abi Lahab. Namun, pernikahan itu tak
berjalan lama. Berawal dengan diangkatnya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
sebagai nabi, menyusul kemudian turun Surat Al-Lahab yang berisi
cercaan terhadap Abu Lahab, maka Abu Lahab dan istrinya, Ummu Jamil,
menjadi berang. Dia berkata kepada dua putranya, ‘Utbah dan ‘Utaibah
yang menyunting putri-putri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Haram jika kalian berdua tidak menceraikan kedua putri Muhammad!”
Kembalilah dua putri yang mulia ini dalam keteduhan
naungan ayah bundanya, sebelum sempat dicampuri suaminya. Bahkan dengan
itulah Allah selamatkan mereka berdua dari musuh-musuh-Nya. Ruqayyah dan
Ummu Kultsum pun berislam bersama ibunda dan saudari-saudarinya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan ganti yang jauh lebih baik. Ruqayyah bintu Rasulullah radhiallahu ‘anha disunting oleh seorang sahabat mulia, ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu.
Sebagaimana kaum muslimin yang lain, mereka berdua
menghadapi gelombang ujian yang sedemikian dahsyat melalui tangan kaum
musyrikin Mekkah dalam menggenggam keimanan. Hingga akhirnya, pada tahun
kelima setelah nubuwah, Allah Subhanahu wa Ta’ala bukakan
jalan untuk hijrah ke bumi Habasyah, menuju perlindungan seorang raja
yang tidak pernah menzalimi siapa pun yang ada bersamanya. ‘Utsman bin
‘Affan radhiallahu ‘anhu membawa istrinya di atas keledai,
meninggalkan Mekkah, bersama sepuluh orang sahabat yang lainnya,
berjalan kaki menuju pantai. Di sana mereka menyewa sebuah perahu
seharga setengah dinar.
Di bumi Habasyah, Ruqayyah radhiallahu ‘anha
melahirkan seorang putra yang bernama ‘Abdullah. Akan tetapi, putra
‘Utsman ini tidak berusia panjang. Suatu ketika, ada seekor ayam jantan
yang mematuk matanya hingga membengkak wajahnya. Dengan sebab musibah
ini, ‘Abdullah meninggal dalam usia enam tahun.
Perjalanan mereka belum berakhir. Saat kaum muslimin
meninggalkan negeri Makkah untuk hijrah ke Madinah, mereka berdua pun
turut berhijrah ke negeri itu. Begitu pun Ummu Kultsum radhiallahu ‘anha, berhijrah bersama keluarga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Selang berapa lama mereka tinggal di Madinah, bergema
seruan perang Badr. Para sahabat bersiap untuk menghadapi musuh-musuh
Allah. Namun bersamaan dengan itu, Ruqayyah bintu Rasulullah radhiallahu ‘anha diserang sakit. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memerintahkan ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu untuk tetap tinggal menemani istrinya.
Ternyata itulah pertemuan mereka yang terakhir. Di antara malam-malam peristiwa Badr, Ruqayyah bintu Rasulullah radhiallahu ‘anha kembali ke hadapan Rabbnya karena sakit yang dideritanya. ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu sendiri yang turun untuk meletakkan jasad istrinya di dalam kuburnya.
Saat diratakan tanah pekuburan Ruqayyah radhiallahu ‘anha, terdengar kabar gembira kegemilangan pasukan muslimin melibas kaum musyrikin yang diserukan oleh Zaid bin Haritsah radhiallahu ‘anhu. Kedukaan itu berlangsung bersama datangnya kemenangan, saat Ruqayyah bintu Muhammad radhiallahu ‘anha pergi untuk selama-lamanya pada tahun kedua setelah hijrah.
Sepeninggal Ruqayyah radhiallahu ‘anha, ‘Umar bin Al Khaththab radhiallahu ‘anhu menawarkan kepada ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu untuk menikah dengan putrinya, Hafshah bintu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma yang kehilangan suaminya di medan Badr. Namun saat itu ‘Utsman dengan halus menolak. Datanglah ‘Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu ke hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadukan kekecewaannya.
Ternyata Allah Subhanahu wa Ta’ala memilihkan yang lebih baik dari itu semua. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminang Hafshah radhiallahu ‘anha untuk dirinya, dan menikahkan ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu dengan putrinya, Ummu Kultsum radhiallahu ‘anha. Tercatat peristiwa ini pada bulan Rabi’ul Awwal tahun ketiga setelah hijrah.
Enam tahun berlalu. Ikatan kasih itu harus kembali terurai. Ummu Kultsum radhiallahu ‘anha
kembali ke hadapan Rabbnya pada tahun kesembilan setelah hijrah, tanpa
meninggalkan seorang putra pun bagi suaminya. Jasadnya dimandikan oleh
Asma’ bintu ‘Umais dan Shafiyah bintu ‘Abdil Muththalib radhiallahu ‘anhuma. Tampak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menshalati jenazah putrinya. Setelah itu, beliau duduk di sisi kubur
putrinya. Sembari kedua mata beliau berlinang air mata, beliau bertanya,
“Adakah seseorang yang tidak mendatangi istrinya semalam?” Abu Thalhah menjawab, “Saya.” Kata beliau, “Turunlah!”
Jasad Ummu Kultsum radhiallahu ‘anha dibawa
turun dalam tanah pekuburannya oleh ‘Ali bin Abi Thalib, Al-Fadhl bin
Al-‘Abbas, Usamah bin Zaid serta Abu Thalhah Al-Anshari radhiallahu ‘anhu. Ruqayyah dan Ummu Kultsum, dua putri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, semoga Allah meridhai keduanya….
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
Sumber bacaan:
• Al-Isti’ab, karya Al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr (hal. 1038, 1839-1842, 1952-1953)
• Ath-Thabaqatul Kubra, karya Al-Imam Ibnu Sa’d (8/36-38)
• Ats-Tsiqat, karya Al-Imam Ibnu Hibban (2/105)
• Fathul Bari, karya Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-‘Asqalani (7/188)
• Siyar A’lamin Nubala, karya Al-Imam Adz-Dzahabi (2/250-253)
• Tahdzibul Kamal, karya Al-Imam Al-Mizzi (19/448)
• Ath-Thabaqatul Kubra, karya Al-Imam Ibnu Sa’d (8/36-38)
• Ats-Tsiqat, karya Al-Imam Ibnu Hibban (2/105)
• Fathul Bari, karya Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-‘Asqalani (7/188)
• Siyar A’lamin Nubala, karya Al-Imam Adz-Dzahabi (2/250-253)
• Tahdzibul Kamal, karya Al-Imam Al-Mizzi (19/448)
Sumber: http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=211
Subscribe to:
Post Comments (Atom)